Senin, 26 September 2011

dijaganya......he (^_^)

jaga hutanmu....


Fakta yang diungkapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Rachmad Witoelar, bahwa Sumatera Utara adalah daerah terparah dalam hal kerusakan hutan bakau (mangrove), patut menjadi koreksi dan catatan kritis bagi kita semua. Secara nasional, kerusakan hutan bakau di Sumut telah mencapai 62,7 persen (sekitar 52.350 Ha) dari luas 83.550 Ha sisa hutan di Sumut.
Jika hal ini tidak segera diatasi, maka bisa berdampak cukup signifikan bagi eksistensi kehidupan masyarakat di daerah ini.
Kerusakan ekosistem hutan di Indonesia memang cukup parah. Tetapi setidaknya untuk kaca mata lokal, jika berpedoman pada kerusakan hutan (bakau) di Sumut sudah sangat merisaukan, jelas permasalahan ini tidak boleh dibiarkan.
Solusi berupa langka konkrit perlu dipikirkan dan dikerjakan.
Mengatasi kerusakan hutan yang sudah sangat parah tersebut, tentu butuh waktu, komitmen dan keseriusan. Untuk itu, pemerintah daerah harus berani dan mau mengambil kebijakan serta langkah-langkah yang gradual untuk bisa mengatasi persoalan dimaksud. Jika selama ini, kebijakan pemerintah lebih bertumpu untuk menggali sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk dengan mengeksploitasi hutan, hal ini patut dikoreksi kembali.
Tak dapat dipungkiri, bahwa maraknya penebangan yang tak menghiraukan aspek kelestarian lingkungan masih terus terjadi.
 Akibatnya berbagai bencana datang mengikutinya. Beruntunglah, dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam menyelamatkan ekosistem hutan kita, sedikit banyak telah membuahkan hasil.Ke depan ini, kita berharap agar kelestarian lingkungan, khususnya tentang ekosistem hutan kita bisa terselamatkan. Karena itu, indikasi-indikasi adanya oknum yang terlibat dalam aksi illegal logging harus diusut tuntas.
Bukan hanya yang terlibat secara langsung, namun juga yang ada dibalik suksesnya aksi illegal logging selama ini.
Karena itu, salah satu cara yang paling memungkinkan diambil adalah dengan memantapkan fungsi pengawasan oleh pemerintah. Melalui perbaikan akan tata pemerintahan.
Perbaikan tata pemerintahan (good governance), menyiratkan agar pemerintahan itu dikelola dengan baik, termasuk pada pengelolaan hutan. Sebuah pemerintahan yang dengan keseriusan penuh untuk mau memberantas segala upaya yang mencoba merusak ekosistem hutan. Misalnya bagaimana pemerintah mau menegakkan hukum lingkungan. Kemudian, bagaimana juga pemerintah mau serius dalam penyelesaian permasalahan hutan.
Selama ini, beragam bentuk-bentuk eksploitasi terhadap ekosistem hutan telah mengakibatkan fungsi hutan lindung sesuai dengan hakikatnya dirasakan semakin penting.
Sebab, hutan lindung dijaga dan dipelihara adalah untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang memang tidak bisa dipisahkan dari keadaan hutan. Singkatnya, hutan adalah “roh” bagi kehidupan. Lalu timbul pertanyaan, mengapa aksi-aksi perusakan hutan masih terus terjadi, padahal keberadaannya sangat  Sekali lagi, dalam upaya menyelamatkan ekosistem hutan, peran pemerintah sangatlah penting. Pentingnya posisi pemerintah ini, jika disadari sepatutnya akan membuat aparat pemerintah akan serius menangani setiap permasalahan hutan. Harus kita akui bahwa maraknya kejadian pengrusakan hutan ada kaitannya dengan lemahnya kinerja aparat pemerintahan.
Karena itu, ke depan ini, upaya-upaya menumbuhkan tata pemerintahan yang baik harus didukung dan diupayakan.
Berawal dari adanya kemauan pemerintah menjadi kunci utama bagi upaya dalam mendorong peran masyarakat untuk berjalan dengan baik, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan. Pada saat yang sama potensi masyarakat lainnya yang menjadi kekuatan dasar bagi penyelamatan ekologi, akan berfungsi sebagai benteng terakhir perlindungan lingkungan. Atau dengan lain perkataan, masyarakat akan berfungsi sebagai kekuatan moral.
Krisis lingkungan (hutan) kini sedang terjadi. Bahkan, jika tidak segera diatasi, krisis lanjutan akan segera terjadi. Karena itu, langkah terpadu dan kerja keras mutlak diperlukan untuk mengatasinya. Dalam konteks inilah, peran pemerintahlah yang menempati posisi utama. Namun pada saat yang sama, pertisipasi aktif masyarakat harus ditumbuhkan. Kerja sama yang erat antara pemerintah dan masyarakat adalah kombinasi yang sangat dinantikan. (*)
Beberapa waktu terakhir media massa di Indonesia diwarnai kemuraman berita banjir dan tanah longsor yang terjadi di beberapa daerah. Banjir akibat pasang air laut yang terjadi di utara Jakarta belum surut ketika banjir menerjang Solo, Sragen, Ngawi, Madiun, Ponorogo, Lamongan, Bojonegoro, dan Malang, dan tanah longsor merenggut puluhan korban jiwa di Tawangmangu pada akhir Desember 2007. Entah berapa besar kerugian yang harus ditanggung akibat bencana ini. Terhenyak rasanya melihat kenyataan bahwa daerah yang tahun-tahun sebelumnya tidak dilanda banjir pun saat ini diterjang banjir.
Belum hilang pula dari ingatan kita banjir besar yang melanda ibukota Jakarta awal Februari 2007 yang lalu yang menyebabkan kerugian triliunan rupiah, kini awal Februari 2008 Jakarta pun kembali menjadi kubangan raksasa. Sepertinya negeri ini tak putus-putusnya dilanda bencana. Bencana banjir yang kejadiannya semakin meluas di negeri ini sesungguhnya dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diketahui dan diprediksi sebab akibatnya. Ada banyak faktor penyebab banjir, diantaranya adalah perubahan iklim dan ketidakseimbangan ekosistem akibat perilaku manusia yang tidak bijaksana dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya.

·         Lingkungan dan Ekosistem

Menurut Associated Programme on Flood Management (2006), lingkungan terdiri dari unsur-unsur udara, air, tanah, sumberdaya alam, flora, fauna, manusia dan keterkaitan antara unsur-unsur tersebut. Pada suatu sistem sungai, kondisi lingkungan dari suatu bantaran sungai atau bantaran banjir ditentukan oleh iklim, karakteristik fisik dan regim aliran sungai yang terbentuk, berbagai ekosistem penyusunnya, dan perlakuan manusia terhadap bantaran sungai tersebut.
Sedangkan ekosistem adalah suatu sistem yang dinamis dari tumbuhan, binatang, dan kelompok mikroorganisme serta lingkungannya yang berinteraksi sebagai kesatuan fungsional. Selain itu, sebuah ekosistem mempunyai struktur atau organisasi yang dibentuk oleh komponen-komponen hayati dan non-hayati yang berinteraksi secara berbeda. Makin banyak jumlah elemen dalam suatu sistem yang mencakup ekosistem dan interaksi yang saling menguntungkan, maka gangguan yang terjadi dalam suatu ekosistem akan makin efektif untuk diseimbangkan.
Sehingga, ekosistem sebenarnya dapat kembali ke kondisi awalnya setelah terjadi gangguan, namun pada saat yang sama akan sulit untuk diciptakan kembali jika sudah telanjur rusak. Oleh karena itu sangatlah penting upaya untuk memahami sekaligus melindungi struktur dan fungsi dari ekosistem yang kompleks seperti ekosistem hutan, pantai, rawa dan sungai untuk mengurangi bencana banjir dan tanah longsor.
·         Ekosistem dan Manusia
Menurut Millenium Ecosystem Assessment (2005), manusia mendapatkan banyak manfaat dari jasa yang diberikan oleh ekosistem yang meliputi jasa penyediaan, jasa pengaturan, dan jasa kultural. Jasa penyediaan oleh ekosistem adalah produk yang diperoleh dari ekosistem seperti makanan, serat, bahan bakar, obat-obatan alami, sumber air, dan biokimia.
Sedangkan jasa pengaturan oleh ekosistem antara lain adalah pengaturan aliran air pada sistem sungai melalui proses limpasan dan pengisian kembali cekungan air tanah. Jika suatu ekosistem sungai tidak dipelihara dengan baik, maka fungsinya akan terganggu, sehingga akan mengurangi service yang diberikan dan akan mengubah respon terhadap regim aliran sungai yang sangat dipengaruhi oleh perubahan kapasitas penampungan air.
Sebagai contoh, suatu bantaran sungai yang sudah beralih fungsi menjadi tempat sampah atau pemukiman akan mengurangi kapasitas penampungan sungai tersebut, sehingga tidak bisa lagi berfungsi untuk mengalirkan air saat debit puncak pada musim hujan. Hal ini juga berlaku untuk ekosistem hutan dan ekosistem pantai. Suatu ekosistem pantai yang terdiri dari hutan bakau dan terumbu karang yang terpelihara dengan baik memberikan jasa berupa pengaturan intensitas dan pengurangan resiko kerusakan akibat bencana gelombang pasang. Hutan yang terjaga dengan baik di hulu suatu daerah aliran sungai akan memberikan jasa berupa pengurangan resiko bencana tanah longsor di daerah tersebut dan berfungsi sebagai daerah resapan air.
Pada kenyataannya beberapa hal seperti pertumbuhan penduduk, kemiskinan, budaya konsumerisme, pengembangan pertanian intensif, industrialisasi, urbanisasi, pengembangan infrastruktur transportasi, dan pengembangan pariwisata yang semuanya terkait dengan aspek sosial-ekonomi yang dilakukan oleh manusia menyebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem.
Ketika kerusakan lingkungan meluas dan ekosistem sudah tidak lagi seimbang, maka bencana pun tak terelakkan, dan yang paling menderita adalah manusia. Oleh karena itu, seharusnya kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas harus diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem agar bencana dapat dikurangi.
·         Partisipasi Pemangku Kepentingan
Kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem dapat dijaga, dan bencana yang terjadi dapat dikurangi, jika semua pemangku kepentingan bersama-sama berupaya untuk melestarikan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Pemangku kepentingan dalam hal ini adalah masyarakat luas antara lain penduduk, pemerintah, pemuka agama, industri, perguruan tinggi, sekolah, aparat penegak hukum, dan lembaga swadaya masyarakat.
Perlu juga dipahami, bahwa dalam suatu daerah aliran sungai, keterkaitan antara daerah hulu dan daerah hilir tidak dapat diabaikan karena kondisi daerah hulu akan berpengaruh terhadap kondisi daerah hilir terkait dengan masalah banjir. Untuk itu sinergi antara daerah hulu dan daerah hilir suatu daerah aliran sungai merupakan faktor penting dalam pengelolaan lingkungan sehingga bencana akibat ketidakseimbangan ekosistem dapat dikurangi. Selain itu, mendidik masyarakat untuk melestarikan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem harus dilakukan tanpa henti, dan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pendekatan ilmiah, pendekatan kultural dan pendekatan religius.
Pendekatan ilmiah dapat dilakukan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Sedangkan pendekatan kultural dan religius akan efektif untuk mendidik masyarakat awam yang kurang berpendidikan untuk memahami fungsi ekosistem dan lingkungan serta pentingnya menjaga kelestarian dan keseimbangannya. Di Indonesia banyak kesenian tradisional yang masih disukai oleh penduduk terutama di pedesaan dan rakyat kecil, seperti kesenian kethoprak, lenong, dan wayang yang bisa dimanfaatkan sebagai media untuk menyampaikan pesan tentang pelestarian lingkungan dan ekosistem (Pudyastuti, 2005).
Peran pemuka agama yang didukung oleh akademisi juga sangat penting untuk menyampaikan pesan tentang pelestarian lingkungan dan ekosistem dalam perspektif agama. Jika kita ingin kejadian bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di negeri ini berkurang, maka mulai detik ini juga seharusnya kita semua berpartisipasi untuk melestarikan lingkungan, serta memahami sekaligus melindungi struktur dan fungsi dari ekosistem sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Posted in Tajuk Rencana by Redaksi on Agustus 12th, 2007

zahreza...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar